Kamis, 05 Januari 2012

tasawuf dan seluk beluknya


TASAWUF
I.   Pengertian Tasawuf
Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata “Sufi”. Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari “Ashab al-Suffa” (“Sahabat Beranda”) atau “Ahl al-Suffa” (“Orang orang beranda”), yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa
     Dasar-Dasar Qur`ani Tasawuf
Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain.
Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an


Yang Artinya :                                                                                                                                                                   “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kamiberikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. (Q.S Asy-Syuura [42] : 20).
Diantara nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat: 20




yang Artinya : “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut.
Ayat al-Qur’an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat tersebut yaitu firman Allah dalam Q.S ath-Thalaq [65] ayat : 3



yang Artinya : “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam Q.S as-Sajadah [ ] ayat : 16 yang Artinya: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap
Maksud dari perkataan Allah Swt : “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya” adalah bahwa mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam”.

Asal Kata Sufi
    Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
    1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
    2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
    3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
    4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
    5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
    Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
    Asal-Usul Tasawuf
    Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
    Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
    Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
    Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
    Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
    Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
    Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
    Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
    Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
    Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."
    Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
    Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal."
    Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
    Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Allah, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Allah; dan inilah hakikat tasawuf.

II. TUJUAN TASAWUF
Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat- Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Allah. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Allah bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Allah melalui penyucian rohnya. Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.
Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik (suci) dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
III. MANFAAT TASAWUF          
Hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian diri dan amaliyah-amaliyah Islam. Dan memang ada beberapa ayat yang memerintahkan untuk menyucikan diri (tazkiyyah al-nafs) di antaranya:

“Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan jiwanya” (Q.S. Asy-syam [91]:9);


“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al Fajr: 28-30).
 Atau ayat yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah, “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah” (QS. Al An’am: 162).
Jadi, manfaat tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu.
Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi di masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai manusia yang digelari al-Amin, Shiddiq, Fathanah, Tabligh, Sabar, Tawakal, Zuhud, dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada jalan yang benar. Perilaklu hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah kehidupannya merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi.
Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam lading kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya.

IV. PENGARUH TASAWUF DALAM KEHIDUPAN
a.      Pengaruh Tasawuf dalam Pemikiran Islam
Tasawuf memiliki pengaruh cukup kuat di dalam disiplin ilmu Islam lainnya. Ia merupakan bibit keharuman dalam Islam. Sebab menjadi inti cahaya (Nur) Muhammad, merupakan pengajaran jiwa dan ruhaninya. Ia juga memiliki andil cukup besar dalam mengungkap makna-makna Al-Quran dan hadis Nabi.
Di dalam pengetahuan Islam sendiri, tasawuf mrupakan kekuatan yang besar meski harus menghadapi serangan bertubi-bertubi dari sayap kanan dan kiri.
Tasawuf merupakan khazanah besar sepanjang penggalian pengetahuan alam. Bisa dikatakan tasawuf telah berhasil mementahkan filsafat materialisme yang melanda dan menyerang dunia timur. Menghentikan gelombang kekufuran, paham-paham sesat yang telah menggenangi alam Islam semenjak kemunculannya.
Tasawauf telah berhasil menyumbangkan andilnya yang tidak sedikit dalam perluasan Islam. Ia ikut menaklukan bangsa-bangsa yang yang selama ini masihbelum tersentuh Islam (hal ini memang diperlukan dalam periode Islam pertama, karena-ketika itu-obyek dakwah masih asing melihat Islam, dan cenderung memusuhinya, ed...), atau belum dapat dibangunnya sentral dakwah di tengah-tengah mereka. Lambat laun kaum sufi berhasil menembus jantung Afrika, dataran Asia dan hampir merata di kepulauan teduh. Merekalah yang berhasil menempatkan Islam di hati umat manusia, dengan kelemahlembutan dan kasih sayang yang mereka kedepankan kepadanya. Merekalah yang berdiri di hadapan umat, mengobati kebobrokan mental, dan meringankan bencana hidup, serta menyelamatkan anak manusia dari jurang kesesatan dan kebimbangan. Mereka berani menghadapi para khalifah, juga para pejabat pemerintah, guna menegakkan keadilan di antara para pemimpin tersebut.
Dalam buku filsafat Islam, Edward Ross mengatakan,"Munculya kelompok sufi yang menyebar di dalam Islam, adalah karena adanya pemahaman hubungan rindu yang kuat dengan Tuhan yang Pengasih dan Penyayang, yang mengalirkan cinta."
Tanggapan yang tepat. Karena tasawuf merupakan media yang mengajarkan kepada manusia tentang cinta, menunjukkan hati akan adanya rindu, serta setia kepada Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Adalah suatu yang ganjil apabila melupakan budaya tasawuf yang nyata-nyata mempersembahkan nilai positif yang tinggi. Tasawuf merupakan pengisi sisi kosong kalbu muslim, mengajarkan cinta, membentangkan kemurnian, dan melarutkan kesucian dalam kehidupan.
Tasawuf benar-benar berhasil mendirikan perguruan tinggi di jantung dunia Islam beratus tahun sebelum berdirinya perguruan lainnya. Dengan demikian, madrasah atau perguruan perguruan milik para tokoh tasawuf dan pengikutnya menjadi madrasah atau perguruan percontohan yang bergerak sendiri di planit bumi. Ia merupakan akademi ilmiah dimana para gurunya menerima cahaya dari Allah. Mereka terbangkan hati ke langit cinta. Di dalam akademi tersebut juga mereka tuangkan ilmu kepada para pengikut yang sekaligus sebagai muridnya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, metode pendidikan mentaldan akhlak masing-masing para tokoh sufi dan pengikutnya di sekolah tinggi mereka itu, menjadi metode pendidikan tertinggi di dunia. Sebab, pendidikan mereka mempunyai tujuan yang paling terpuji, semenjak terbentuknya belajar mengajar antara guru dan anak didiknya.
Para penyair tasawuf telah berjasa dalam mengangkat prosa sebagai salah satubentuk di antara disiplin ilmu yang ada. Prosa-prosa karya mereka menjadi senjata di dalam aktifitas dakwah, memperbaiki warna kehidupan, serta sedikit demi sedikit meredam kebrutalan (vandalisme) dan kebiadaban serta setiap gerak yang mengarah kepada prilaku amoral.
Khazanah tasawuf dalam bentuk prosa merupakan satu kebanggaan tersendiri, yang pena-pena lain tiada mampu menyainginya, karena karya-karya mereka benar-benar cemerlang, mencakup seluruh arah hasil karya penulis prosa lainnya.
Penulis cerita misalnya, banyak mengambil materi dari kehidupan Rabiah al-Adawiyah. Sudah lima puluh lebih buku cerita mengupas tentangnya. Juga hikayat Hallaj dan kematiannya. Petualangan Muhyiddin Ibnu Arabi. Perubahan drastis yang terjadi pada diri Ibrahim bin Adham, dari seorang yang serakah dunia dengan segala macam hobi negatifnya, menjadi tokoh iman dan amal salih. Pelajar ilmu jiwa dan sosial telah menemukan perilaku sempurna pada diri al-Jilani ad-Dasuqi dan Al-Busthami. Yang menentukan taat dan maksiat, keluar dari satu sumber dalam bentuk yang berbeda. Dia juga menentukan risalah cinta bagi setiap yang hidup, bahkan juga terhadap benda-benda mati.
Tidakkah pada benda-benda mati itu terdapat kehidupan? Tidakkah benda-benda mati itu juga memuji dan menyucikan Tuhannya? Tidakkah bebatuan juga ada rasa takut terhadap Allah? Pada Ibnu al-Farid, Al-Junaid, Dzunnun dan orang-orang yang meneladaninya, terdapat tentang iman, suka cita makrifat dan mabuk kepayang cinta.
Tasawuf adalah dunia sempurna. Di dalamnya terdapat ilmu, akhlak, pengetahuan, filsafat, fiqh, usul, kisah-kisah serta segala macam yang diperlukan pada pendalaman ilmu, budi pekerti, kabahagiaan, kelezatan, ketentraman, kebahagiaan yang harum. Darinya mengalir cinta dan sukacita.

Tasawuf adalah tata krama kesopanan yang tinggi lagi sempurna. Ilmu yangtidak memendam keraguan, bahkan menjadi cahaya petunjuk, taat dan iman.  Pernah Abu Muhammad bin Yahya mendengarkan perbincangan orang -orang sufi, dia lantas keluar dari forum seraya berbisik, "Kata-kata mereka itu dating dari Allah. Ada unsur paksaan dari Dzat yang tiada pernah berbohong."
Perhatikan salah satu goresan Hasan al-Bashri di bawah ini:
"... Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba. Sebagaimana orang yang melihat ahli surga, kekal di dalamnya, atau orang melihat ahli nereka, yang juga kekal di dalamnya. Hati mereka sedih, perilaku jahat mereka aman terkendali, kebutuhan mereka ringan, jiwa mereka bersih, bersabar pada sejumlah hari yang pendek, kemudian disusul kelegaan yang panjang. Adapun malam hari, adalah saat-saat mengheningkancipta, air mata meleleh membasahi pipi, sambil berdoa kepada Allah "Ya Tuhan ... Ya ... Tuhan." Sedang di siang hari, mereka dalah orang-orang arif yang alim. Orang-orang yang suci lagi bersih seperti kuncup bunga. Orang menyangka mereka sedang sakit, meski mereka sebenarnya tidak sakit. Atau menganggap pikiran mereka sedang kacau. Benar, mereka memang sedang kacau. Kacau oleh cintanya kepada Tuhan dan mengingat akhirat. Dan hal itu adalah luhur." (Hasan al-Bashri)

Peranan Tasawuf dalam kehidupan modern
Manfaat tasawuf bukannya untuk mengembalikan nilai kerohanian atau lebih dekat pada Allah, tapi juga bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupan manusia modern. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner
Menempuh Jalan Tasawuf
Untuk menjadikan hidup lebih baik dan ada nuansa sufistiknya, tentu saja harus melakukan latihan spiritual secara baik, benar, dan berkesinambungan. Karena itu, bagi seorang penempuh tasawuf awal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah taubat. Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi.
Kedua, untuk memantapkan taubatnya itu ia harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur’an dan dzikir, sedikit tidur dan banyak beribadat serta yang dicari hanya kebahagiaan rohani dan kedekatan dengan Allah.
Yang ketiga adalah wara’. Ia menjauhkan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Juga tidak memakan makanan atau minuman yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya.
Keempat adalah faqr. Ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.
Kelima adalah ia harus sabar. Bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Allah kepadanya. Ia juga sabar dalam menderita.
Keenam adalah tawakal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini.
Ketujuh adalah ridla. Ia tidak menentang cobaan dari Allah, bahkan ia menerima dengan senang hati. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Allah.
Itu semua hanya hanya latihan untuk memasuki dunia sufistik. Adapun untuk memasuki pintu tasawuf, atau sufi, ada beberapa tahapan yang lebih tinggi dari sekedar membersihkan atau mengosongkan diri (takhali), mengisinya kembali dengan nilai-nilai ilahiyah (tahalli) dan kemudian tajalli, atau merasakan manifestasi Ilahi dalam kehidupan dunia ini.
Selanjutnya, bila ia memang berada dalam perjalanan “menjadi” sufi, ia akan mengalami mukasyafah atau penyingkapan sesuatu yang tidak diketahuinya, kemudian menjadi tahu. Dari tahap ini ia akan berlanjut pada musyahadah, menyadari sekaligus bersaksi bahwa diri ini tiada apa-apanya. Yang ada dan berada hanya Allah Yang Mahaesa. Tidak ada yang Ada selain Ia. Seseorang yang berada dalam posisi ini pantas disebut muwahid (orang yang bertauhid). Posisi ini akan terus berlanjut pada penyatuan dengan Tuhan. Namun dalam tahap ini kadang tidak setiap orang mampu menerima pengalaman seorang sufi yang mengalami ektase (fana). Sebab kalimat yang terlontar ketika dalam keadaan fana adalah kata-kata “janggal” seperti yang dilontarkan Abu Mansur Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Busthomi, Syeikh Siti Jenar, dan lainnya.

V. KESIMPULAN
Dari ulasan di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa tasawuf merupakan ilmu yang mengajak manusia dalam kesucian yang hakiki. Yaitu jauh dari keindahan dunia yang dapat membawa manusia pada kesesatan.  Dengan bertaubat nasuhah taubat yang bersunggguh-sungguh tidak akan melakukannya lagi walau  sekecil apa pun. Orang yang mengamalkan ilmu tasawuf di sebut dengan sufi.




DAFTAR PUSTAKA
http://saiful-muarif.blogspot.com/2010/01/fungsi-dan-peranan-tasawuf-dalam.html
Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd.,   1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah   al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris,   Gallimard, 1964.

1 komentar: